SOLAT TAHAJJUD DAN WITIR
Firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, solat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (surah Al-Isro’:79)
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah solat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” iaitu sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa solat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.”
( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Solat yang paling utama sesudah solat fardhu adalah qiyamul lail (solat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang salih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (iaitu ) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”
(surah Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma,) seandainya ia solat di waktu malam.”
(HR Muslim No. 2478 dan 2479).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan solat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga : Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan syaitan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal soleh.
Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk solat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi syaitan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Syaitan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia solat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun solat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat : Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)
Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mulai bangun untuk solat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam solat malamnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara perlahan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar menyingsing.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”
Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelazatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, iaitu qiyamul lail, bersilaturrahim dan solat berjamaah.”
Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab : “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”
(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Kaifiat/Cara pelaksanaannya
Solat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan lebih dikenal dengan istilah tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas raka’at sebagaimana diterangkan dalam hadits ‘A`isyah:
“Nabi tidak pernah solat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738)
Sebelas raka’at di sini termasuk di dalamnya solat witir tiga raka’at yang bisa dilakukan dengan dua cara:
solat dua raka’at dan salam kemudian solat satu raka’at atau cara yang kedua,
solat tiga raka’at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka’at ketiga kemudian salam.
Tapi cara pertama itulah yang lebih utama.
Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua raka’at diakhiri salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana (caranya) solat malam? Rasulullah bersabda:
“Solat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu subuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Sehingga solat malam itu paling sedikit satu raka’at (iaitu solat witirnya saja) dan paling banyaknya 11 raka’at. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi solat 13 raka’at maka 2 raka’atnya itu adalah shalat ba’da ‘isya atau qabliyyah subuh.
Dan paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim no.1159)
Lebih terperinci boleh dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimullah.
[Buletin AL Wala’ wal Bara’ Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H]
Kaifiat Qiyamullail (Solat Lail)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan solat (lail) baik di dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Beliau memulai dengan mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya solat beliau. Setelah itu beliau kembali mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan panjangnya solat beliau. Kemudian beliau solat tiga rakaat.”
Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku memang tidur namun hatiku tidak.”
(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, sedangkan solat yang paling disukai Allah adalah juga solat Daud alaihissalam. Beliau tidur hingga pertengahan malam, kemudian bangun (untuk solat lail) selama sepertiga malam, lalu kembali tidur pada seperenamnya ( baki malam). Dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
(HR. Al-Bukhari no. 1131)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang solat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian bimbang akan masuk waktu subuh, hendaklah dia solat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi solat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk menunaikan solat malam, biasanya beliau memulai solatnya dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767)
Waktu solat lail
Awal waktu solat lail adalah setelah solat isya dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar kedua. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan solat sebelas rakaat pada waktu antara selesai solat isya sampai subuh.” (HR. Muslim no. 736) Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Karenanya Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail hal. 119, “Yang disepakati oleh para ulama adalah: Antara solat isya hingga terbitnya fajar (shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.”
Karenanya jika ada orang yang solat maghrib-isya dengan jama’ taqdim, maka dia sudah boleh mengerjakan solat lail walaupun waktu isya belum masuk. Sebaliknya, walaupun sudah jam 10 malam tapi jika dia belum solat isya’, maka dia belum diperbolehkan solat lail.
Hanya saja waktu yang paling ideal adalah dikerjakan selepas pertengahan malam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr di atas.
Jumlah rakaatnya
Solat lail minima 2 rakaat dan paling banyak tidak terbatas. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Hanya saja, walaupun dibolehkan mengerjakan solat lail tanpa ada batasan rakaat (selama itu genap), akan tetapi sunnahnya dia hanya mengerjakan 8 rakaat (plus witir 3 rakaat) berdasarkan hadits Aisyah r.a yang pertama di atas. Disunnahkan juga untuk mengerjakan 2 rakaat ringan sebelum solat lail -berdasarkan hadits Aisyah yang terakhir di atas-, sehingga total rakaatnya adalah 13 rakaat.
Beberapa Cara/Kaifiyat melakukan Solat Tahajud & Witir
1. Solat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan memperhatikan solat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau solat dua raka’at ringan kemudian beliau solat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau solat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau solat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau solat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau solat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau berdiri di malam hari untuk solat maka beliau membuka solatnya dengan dua raka’at yang ringan”
2. Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam solat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
3. Solat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam solat antara selesainya dari sholat isya` sampai solat fajr (solat subuh) sebelas raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”.
4. Solat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan kemudian salam, lalu solat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana sholat witir Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan :
“… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan solat 9 raka’at beliau tidak duduk kecuali pada yang kelapan kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau berzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian beliau solat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu 11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah sembilan (raka’at) wahai anakku”
5. Solat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh kemudian salam, lalu solat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada solat malam dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya untuk membatasi dengan satu raka’at saja.”
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
6. Solat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.
7. Solat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at.
8. Solat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at.
9. Solat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam
untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam.
10. Solat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
11. Solat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
12. Solat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at.
13. Solat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir2.
14. Solat witir satu raka’at.
Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany rahimullah dalam Solatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu solat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau solat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau solat empat (raka’at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau solat tiga (raka’at)”.
Namun ada perbezaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa solat malam itu adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya
sehingga mereka semua menyalahkan orang yang memahami hadits ‘Aisyah di atas dengan kaifiyat solat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at, dan menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at dalam hadits itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih (pendapat yang kuat )
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Solat malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna perintah yaitu perintah untuk melakukan solat malam dua dua raka’at. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Dan juga para Ulama berselisih pendapat tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat di kalangan ulama :
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada keringanan dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy rahimullah.
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya solat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui kesahihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
1 Iaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34.
2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.
3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci.
Bacaan Dalam Solat Tahajud
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun bacaan dalam solat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan. Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda :
“Siapa yang solat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orang orang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang solatnya,) lagi Ikhlas”
Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.
Dan dalam kisah solat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.
Dan telah tsabit ( tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab solat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah sohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang solat sendirian disilahkan memperpanjang solatnya sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang solat bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.), dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda :
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam)”
Dan apabila ia solat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan solatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluan. Dan apabila ia berdiri solat sendiri maka hendaknya ia memperpanjang solatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam solat witir, berikut ini beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus”3 tiga kali.” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata : “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas, Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah di atas dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat witir tiga raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Baca : Al-Mughny 2/599-600, Al-Majmu’ 2/599 dan Syarhus Sunnah 4/98.
Wallahua’lam…………….
*Dari pelbagai sumber internet.
No comments:
Post a Comment